top of page
Search

Hello darkness, my old friend.

  • erlanggamukti
  • May 16
  • 2 min read

Here we go again, been away from writing for almost 11 years.

You may found my last note in the following - written circa 2014:



Saya pernah mendengar informasi bahwa di perusahaan X banyak karyawan kelas priyayi. Mereka adalah titipan pejabat / ex-pejabat. Awalnya saya anggap itu hanya gosip belaka, karena di era pengawasan publik yang kian ketat dan pendoktrinan Good Corporate Governance, maka probabilitas terjadinya nepotisme menjadi sangat kecil.


Akhirnya saya diberi kesempatan untuk bekerja disana dan membuktikan isu tersebut. Kenyataannya justru sebaliknya. Bibit-bibit nepotisme ini nyata tumbuh subur melimpah bak job bonus di deep water Angola. Tanpa malu-malu. Bahkan ada yang sudah tua-bangka pun masih bangga dengan pencapaian Bapaknya dulu. Bah. Apa hebatnya mendompleng nama besar orang tua?


Disisi lain, ada yang memilih diam dalam senyap. Meski terindikasi produk nepotisme, tetapi berlaku layaknya jelata.

Sejujurnya dahulu saya tidak terlalu peduli dengan produk nepotisme ini. Selama orang tersebut perform, tidak perlu dicari silsilah bibit/bobot/bebetnya dari trah mana ia berasal.

Nah, hal yang menjadi concern; sering kali objektivitas manajemen menjadi bias saat berhadapan dengan produk nepotisme ini. Terlihat jelas perbedaan perlakuan untuk galur priyayi dan galur kuli. Entah hanya karena segan karena terbayang-bayang wajah orang tua si priyayi, atau karena hal lain yg belum bisa dimengerti oleh kaum awam.


Hal ini sangat kontradiktif dengan nilai dasar GCG: Transparency, Accountability, Responsibility, Independency & Fairness. Bagaimana bisa Independent & Fair kalau kata-kata yang keluar oleh manajemen kepada antek nepotisme seperti ini.

“Hai Dul, Gimana kabar Bapak? Sehatkan? Salam ya buat Bapak”

Pret. Jargon Emangnya ini perusahaan Mbah-mu? memang benar berlaku.

Untuk itu, saya mendukung diterapkannya peraturan yang melarang pegawai yang memiliki hubungan keluarga (aktif / non aktif) bekerja di satu korporasi. Prinsip dasarnya: Orang yang berkualitas dan memiliki kompetensi, tentu saja akan diterima di perusahaan manapun.


Tidak perlu memaksakan diri untuk bekerja di perusahaan yang sama dengan Babeh-nya.

Profesionalisme sepatutnya ditegakkan, tanpa pandang bulu orang tua.


Sehingga paria (red: pare), memiliki kesempatan yang sama dengan baso tahu. Nyem.


 
 
 

Comments


Share Your Thoughts and Join the Brain Fart Community

© 2023 by The Perks of Being Lone-Wolf. All rights reserved.

bottom of page